Dipublikasikan kali pertama di Koran Jawa Pos 19 Juni 2016
DARI balik dinding bambu, melalui celah sebesar bola
mata, di bawah remang rembulan, Malo Lede dapat melihat begitu jelas
bayang-bayang berkelebat dekat
kangali [1]. Ia tak tahu berapa jumlah pasti mereka, yang jelas lebih dari satu, dan tak
kan pergi sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Perlahan ia melepas kain yang membungkus tubuhnya. Rasa nyeri yang
amat sangat menyerang pinggangnya begitu ia berdiri. Dengan berjinjit,
ia melangkah penuh hati-hati menuju bilik kecil di satu sudut ruangan,
menghindari bambu-bambu yang dapat berderak begitu ia menjejakkan kaki,
menghindari baris-baris sinar rembulan yang menerobos celah-celah
dinding. Begitu tiba di bilik itu, segera ia raih sebatang tombak dan
kembali ke tempat pengintaiannya.
Bulan bulat penuh bertengger di pucuk sebatang pohon kelapa. Awan
tipis seperti ratusan untaian benang putih berserakan mengitari bulan.
Remang sinarnya membasuh rerumputan di halaman, pucuk pohon kopi,
kelapa, ke dondong, dan kangali di belakang rumah, menciptakan bayangan
besar memanjang dan tenang. Sunyi mencekam dan sesekali ditingkahi ke
lepak kelelawar dan dengus kerbau.
“Sial,” umpat Malo Lede tak sabar menanti awan tebal menutupi bulan,
menanti kegelapan meraja. Sebab bergerak di tengah remang rembulan sama
saja menyerahkan diri.
Kemudian, terdengar olehnya bunyi batu beradu kemudian berdentum di
tanah. Kali ini begitu jelas bayangan itu di bawah pohon kedondong,
bergerak kesetanan membongkar kangali. Saat melihat semua itu, tubuh
Malo Lede bergetar hebat. Aliran darah panas merambat cepat ke sekujur
tubuhnya. Ia cabut parang dari sarungnya dan meraih tombak di sisinya.
Tersaruk, ia menuju pintu depan, tak peduli lagi pada langkah yang
menimbulkan derak dan cahaya yang menciptakan bayangan berkelebat, yang
dapat mengirim pesan ke bawah sana. Dalam sekejap ia sudah menginjak
tanah bersamaan dengan sinar rembulan memudar di telan kegelapan. Di
langit sekumpulan awan tebal beringsut menutupi bulan. Sambil menunduk,
ia melangkah cepat seperti melayang, menghilang dalam kebun kopi yang
membentang di samping rumah.
***
TIGA hari lalu, menjelang gelap turun, saat ia
kembali dari kebun dan hendak menyalakan pelita, terdengar olehnya
dengus kerbau dari kandang kangali di belakang rumah, yang tak pernah
terisi lagi tahun-tahun terakhir ini. Lewat celah dinding, ia mendapati
lima ekor kerbau berputar riang dalam kandang sempit dan becek,
mendengus tanah berlumpur, merasakan udara tebal dan basah. Seorang
lelaki muda, pendek, dan bertubuh gempal dengan parang bersarang di
pinggang melompat ke bale-bale, menyalakan rokok dan menatap remang
sore.
“Saya titip kerbau beberapa hari di sini,” ucapnya.
Malo Lede membalikkan badan, menuju tiang rumah di mana lampu pelita
bertengger dan dengan perlahan menyalakan sumbu pelita dengan korek
kayu. Ruang tengah menjadi terang dan tampak jelas kini seraut wajah
perempuan muda dalam potret sefia terpaku dalam bingkai kayu yang
tergantung di tiang rumah dekat pembaringan.
Lelaki muda itu bernama Pilipus Malo, anak pertama Malo Lede. Lima
tahun lalu, ketika badai kelaparan menyerang desa kecil itu, dengan
berat hati ia meninggalkan ayahnya seorang diri dan menerima tawaran
mertuanya menggarap kebun milik keluarga di Lukumana. Ia membawa istri,
anak-anaknya, peralatan berkebun, dan dua ekor kerbau betina kurus
kering. Ia meninggalkan janji akan mengirim padi dan jagung setiap musim
panen.
Malo Lede memiliki dua anak, yang satunya perempuan, telah
meninggalkan rumah begitu ia kawin. Istrinya meninggal membawa amarah
dan kebencian di usia 28 tahun oleh suatu serangan ganas malaria yang
aneh dan tak tertangguhkan dan nyaris menghabisi sebagian perempuan dan
anak-anak di desa itu. Anak perempuannya yang beranjak dewasa ketika
penyakit ganas itu menyerang, selamat di tangan seorang misionaris
Jerman yang menenteng tas ransel besar berisi obat-obatan.
Sejak kepergian Pilipus Malo, Malo Lede tinggal bersama seekor kuda
jantan tua yang riwayat hidup gemilangnya tenggelam dalam keterasingan.
Usianya mencapai 50 tahun dan ia selalu merasakan nyeri yang amat sangat
di tulang punggung dan pinggangnya. Setiap malam ia selalu bermimpi
didatangi sosok istrinya dalam rupa lidah api pelita. Sebagian harinya
habis di kebun, mengumpul kemiri dan memetik kopi ketika musim panen
tiba. Selebihnya, ia menghabiskan harinya berbaring menatap potret
istrinya sementara pikirannya berkelana ke masa lalu. Ia secara
terang-terangan menolak dikunjungi oleh siapa pun.
“Di Lukumana, enam kandang kerbau kosong dalam satu malam. Gerombolan Ayam Hitam sedang berkeliaran.”
“Mereka itu seperti semut-semut merah, di mana ada gula di situ mereka datang.”
“Setidaknya di sini lebih aman.”
“Bagus betul! Orang tua bau tanah macam aku kau suruh jaga kerbau-kerbau ini. Tai
lasu [2] betul kau! Tidak cukup kau siksa aku dengan pergi meninggalkan rumah?”
“Aku akan kirim orang ke sini. Orang-orang masih sibuk membersihkan kebun,” jawab Pilipus Malo acuh tak acuh.
“Cepat kau pergi dan suruh orang itu ke sini! Sebelum kerbau-kerbau ini aku potong semua.”
Tengah malam ini lidah api pelita dalam mimpinya membangunkannya,
mendorongnya ke dalam pertarungan hidup mati, dan ia tak kuasa
membiarkan kerbau-kerbau itu dibawa pergi.
***
MALO Lede mengendap-endap dalam kebun kopi tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Bunyi batu beradu kian jelas di sela
lenguh kerbau yang ketakutan. Sambil mencoba mengira-kira jumlah mereka,
ia terus melangkah penuh hati-hati mendekati kangali. Jantungnya memacu
cepat. Sesekali ia merunduk menghindari reranting kopi. Tombak
digenggamnya setinggi dada dan kekuatan dipusatkan di bagian kanan
tubuhnya, bersiap-siap kalau ada serangan tiba-tiba datang dari ke
gelapan.
Ia tiba di tepi kangali bersamaan dengan sekelompok awan yang
menutupi bulan merekah dan perlahan berpencar. Cahaya rembulan kembali
menerangi halaman belakang. Ia mendongakkan kepala dari balik kangali
dan mendapati sosok lelaki pendek dalam kandang tanpa rasa takut sedikit
pun berusaha menarik kerbau keluar kandang. Saat itu tubuhnya bergetar
hebat. Ia tak dapat lagi menahan amarah yang serasa membakar dadanya.
Dalam satu gerakan melompat, ia sudah berada di atas kangali dan ia
berjarak lima meter dari tempat lelaki itu berdiri. Ia memusatkan
kekuatan di tangan kanan, membidik, dan mengambil ancang-ancang. Ia
mengayunkan tombak itu sekuat tenaga sehebat amarah dalam dadanya seraya
berteriak,
“Mati kau!”
Ia tak tahu lagi apakah tombak itu mengenai lelaki itu. Setelah
melepas tombak, tubuhnya ikut terdorong ke depan dan saat ia hendak
mengambil keseimbangan, tiba-tiba saja terdengar bunyi desing cepat yang
begitu ia kenal.
“Sial! Batu ali-ali!” umpatnya.
Ia tak lagi sempat menghindar. Batu sebesar kepalan tangan menghajar
dadanya. Ia merasakan tubuhnya membeku di udara sebelum terhempas sejauh
dua meter dari atas kangali. Tubuhnya berdebam di tanah. Dadanya terasa
sesak seperti hendak meledak. Udara di hadapannya serasa membeku dan
kegelapan menyelimuti matanya.
“Perkosa ibumu!” makinya di ujung tarikan napas panjang.
Tangannya menggapai-gapai, ia merangkak cepat melempar tubuhnya ke
balik tumpukan kayu gelondongan dekat situ. Ia mencoba menahan rasa
perih di dadanya dan mencoba mengatur napasnya.
Terdengar langkah kaki bergegas mendekat, kemudian hening. Beberapa
saat kemudian sebaris sinar menerobos kegelapan menyusul suara memecah
sunyi.
“Perkosa ibumu! Matikan senter itu! Kau melihatnya?”
“Dia pasti jatuh tak jauh dari sini, aku mengenai dadanya!”
“Lelaki tua bau tanah itu sudah di neraka!”
Terdengar salak anjing di jalanan. Malo Lede menahan napasnya dari balik tumpukan kayu gelodongan.
“Lelu bisa mati diinjak kerbau.” Terdengar seorang menyela.
“Persetan! Kita tidak ada waktu lagi, di mana kuda pacu itu?”
“Di kandang depan.”
“Kerbau-kerbau itu?” sambar yang lain.
“Persetan! Kita sudah membangunkan orang!”
Kemudian terdengar langkah kaki bergegas ribut. Anjing terus menyalak
dan di rumah dekat situ lampu pelita menyala kemudian mati lagi.
Ketakutan merambat dalam rumah-rumah itu.
“Lelu anjing!” umpat Malo Lede susah payah.
***
Lelu adalah kawan lama dan yang membuat mereka berkawan adalah
kegilaan pada pacuan kuda. Lelu memiliki kuda pacu paling tangguh
sepanjang kawasan itu. Kudanya nyaris memenangkan semua adu lari di
arena mana pun. Malo Lede kala itu adalah pendukung garis keras kuda
Lelu dan petaruh yang tangguh. Demi semua itu, berhari-hari ia
tinggalkan rumah dan melupakan istrinya yang baru saja melahirkan anak
keduanya. Ia menjual padi dan jagung, menjual babi dan kerbau. Semuanya
habis di arena pacuan kuda atau di tikar judi. Setiap kali pulang,
istrinya selalu dipukulinya. Ia mengikuti ke mana pun kuda Lelu adu lari
dan menyimpan hasrat untuk memiliki kuda pacu sendiri.
Keberuntungan itu datang seiring ke menangan-kemenangan kuda Lelu. Ia
akhirnya dapat membeli seekor kuda jantan kurus dari seorang kerabat,
merawat, dan mencintainya lebih daripada istri dan anak-anaknya,
membawanya ke arena pacuan. Setahun setelah itu, ia berhasil menaklukkan
kuda milik Lelu dalam satu pacuan yang mendebarkan.Sejak itu, kuda Malo Lede sering terlibat di putaran akhir dan
menghajar kuda Lelu tanpa ampun. Perlahan kuda Lelu mulai tersingkir dan
tentu saja kenyataan itu membangkitkan amarah bercampur iri hati dalam
diri Lelu.
Beberapa kali kuda Lelu tak ikut pacuan dan beredar kabar kalau ia
telah menjual kuda pacunya dan tenggelam dalam judi dan minuman keras.
Ia tak lagi muncul di arena pacuan hingga suatu hari ia muncul
sempoyongan, dan mencaci maki Malo Lede sebagai anjing pengkhianat.
Sejak itulah perkawanan mereka berakhir dan berakhir pula aksi Malo Lede
di arena pacuan. Sekembalinya dari pacuan kuda, ia mendapati istrinya terkapar di
pembaringan dengan tubuh kurus kering. Wajah dan matanya memerah,
menatapnya penuh kebencian. Sebelum mengembuskan napas terakhir,
perempuan malang itu meludahinya dengan kejijikan yang rasanya abadi di
ingatan Malo Lede. Masa-masa itulah, yang kini tak ingin dikenang oleh
Malo Lede. Setiap kenangan itu datang rasa bersalah menghajarnya tanpa
ampun.
***
Kemarin sore, Lelu muncul di halaman rumah Malo Lede untuk pertama
kali sejak peristiwa di arena pacuan. Ia membawa wajah cerah, mengunyah
sirih, dan menarik rokok dengan riang. Malo Lede langsung mengenalinya
beserta masa lalu yang mengikutinya.
“Tiba-tiba saja aku ingin ketemu kau, sudah lama sekali…,” ujarnya seraya melempar pantat di bale-bale.
Masa lalu tampak membayang di wajahnya, yang membangkitkan rasa
enggan dalam diri Malo Lede. Seperti masa lalu itu, kehadiran kawan lama
tersebut tak kuasa ia tolak. Lelu melempar sebungkus rokok ke pangkuan
Malo Lede.
“Sudah hidup makmur kau sekarang.”
“Lumayan untuk beli sebungkus rokok,” jawabnya terkekeh-kekeh.
“Ini kuda pacumu yang dulu?” Sambarnya lagi begitu melihat kuda
jantan merah di samping rumah tengah memamah rumput. Tingginya sekitar
130 cm, kuda sandel asli Sumba. Surai panjangnya rebah tak teratur di
leher pendeknya. Tak seperti kuda Sumba kebanyakan yang bermata riang,
kuda Malo Lede bermata sendu dan berwajah murung.
“Ya. Dia sudah lupa sama sekali kalau pernah turun ke arena pacuan.”
“Aku selalu berpikir untuk kembali ke sana,” kata Lelu bersemangat.
“Waktu kita sudah selesai,” jawab Malo Lede murung seraya menatap semburat senja di kejauhan.
“Waktu kita belum selesai.”
Sepanjang Lelu bicara Malo Lede merasa aneh melihat gerak-geriknya.
Lelu melihat ke segala penjuru rumah dan sepertinya hendak melekatkan
semua yang ditangkap mata dalam ingatannya. Ia kadang berdiri, melangkah
ke samping rumah, melihat kuda itu, dan memuji tubuhnya yang bagus,
melihat kandang kuda, dan kandang kerbau.
“Punya banyak hewan kau sekarang.”
“Punya anak laki-laki aku, sementara ini dititip di sini. Kau tahu sendiri situasi di Lukumana.”
“Tak ada tempat yang lebih aman selain desa ini,” kata Lelu sambil
melompat ke atas kangali, melangkah sampai ke bawah pohon kedondong,
memungut satu yang busuk, dan melemparnya ke dalam kebun kopi. Beberapa
saat ia terdiam memandang rimbun kebun kopi itu.
“Lantas anak laki-lakimu ke mana?”
“Pulang ke Lukumana. Katanya hari ini ia akan mengirim orang untuk menjaga kerbau-kerbau ini tapi orang itu belum juga datang.”
Lelu pulang setelah menolak dengan susah payah tawaran Malo Lede
untuk minum kopi dan makan. Ketika menyalakan pelita sore itu, firasat
buruk datang dalam gelap rumah membayang di hadapannya.
***
Dari tempat persembunyiannya, ia mendengar bambu-bambu penutup
kandang kuda ditarik paksa dan bunyi parang beradu dengan bambu. Dadanya
kembali panas bersama rasa perih menjalar cepat ke sekujur tubuh.
Kemudian terdengar ringkik kuda memberontak kian menjauh. Ia memaksakan
diri untuk berdiri. Saat itulah sebaris sinar menerpa wajahnya, begitu
menyilaukan hingga membuatnya tak dapat melihat sosok di hadapannya.
Kemudian sebilah parang dari balik sinar itu menghajar lengan kirinya
dan membuatnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Parang itu
melayang lagi dan menyabet kausnya. Setelah mendapat cukup ruang dan
kesempatan, ia ayunkan parang membabi buta hingga dalam satu kesempatan
parangnya menghajar senter itu, membuatnya melayang, dan jatuh ke tanah.
Ia tak menghentikan serangan sampai terdengar jeritan panjang dan tubuh
jatuh berdebam di tanah. Ia mundur beberapa langkah dalam gelap,
mengambil napas, mengambil jarak. Erangan terdengar begitu memilukan.
Setelah suasana sedikit tenang, tersaruk ia sambil menahan rasa sakit
yang amat sangat di dada dan lengannya menuju senter yang terus saja
bersinar membelah kegelapan. Ia raih senter itu dan mengarahkannya ke
sumber erangan. Udara di hadapannya seperti membeku dan tubuhnya goyah
sesaat.
“Lelu!” teriaknya lemah.
Di bawah siraman sinar senter, ia mendapati tubuh Lelu bergetar
hebat. Kausnya memerah dan darah kental melelup-lelup dari luka menganga
di dada kanan dan lengan kirinya yang nyaris putus. Buih-buih darah
melelup dari mulutnya. Matanya terbelalak memerah.
Melihat semua itu, rasa dingin menjalar dari ujung kaki, dan tubuhnya
serasa melayang. Ia roboh di sisi Lelu. Udara di hadapannya kian
membeku dan gelap pekat menyelimuti wajahnya. Sayup-sayup terdengar
derap kuda pacu dan ringkik ribut, menjauh. ***
[1]
Kangali: Pagar batu setinggi dada orang dewasa terbuat dari susunan batu karang.
[2]
Lasu : Kemaluan laki-laki.